Selasa, 06 Juni 2023

» Artikel » SEBUAH GAGASAN DALAM PERKARA NAFKAH ANAK DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA DI PENGADILAN AGAMA
SEBUAH GAGASAN DALAM PERKARA NAFKAH ANAK DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA DI PENGADILAN AGAMA

SEBUAH GAGASAN DALAM PERKARA NAFKAH ANAK DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA DI PENGADILAN AGAMA

Oleh: Epri Wahyudi

(Hakim Pengadilan Agama Kuala Kapuas)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 LATAR BELAKANG

Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia[1] yang memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang telah diatur dalam Undang-Undang, diantaranya yaitu perkara perkawinan, perkara waris, perkara wasiat, perkara hibah, perkara wakaf, perkara zakat, perkara infaq, perkara shadaqah, dan perkara ekonomi syariah.[2] Dalam hal perkara perkawinan yang berkaitan dengan perceraian, Pengadilan Agama dapat menentukan dan membebankan nafkah anak[3] kepada bekas suami (ayah anak) baik itu dimintakan atau tidak dimintakan oleh seorang istri pada saat proses persidangan.[4]

Penentuan dan pembebanan nafkah anak yang biasa dinyatakan oleh Hakim Peradilan Agama adalah terkait siapa yang akan menanggung nafkah anak tersebut serta berapa besaran yang harus diberikan kepada anak setiap bulannya. Penjatuhan putusan pembebanan nafkah anak pada dasarnya harus ditujukan kepada seorang ayah.[5] Adapun terkait besaran nafkah yang harus diberikan seorang ayah kepada anak disesuaikan dengan kemampuan ayah berdasarkan bukti-bukti yang kemudian menjadi fakta hukum yang menunjukkan kemampuan ekonomis seorang ayah pada saat pemeriksaan persidangan.

Meskipun Hakim Peradilan Agama telah menjatuhkan putusan terkait nafkah anak yang ditujukan kepada seorang ayah atau mantan suami, namun ternyata dalam pelaksanaannya masih terdapat kondisi dimana seorang ayah atau bekas suami tidak bertanggungjawab atau tidak mentaati suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh Hakim. Terhadap kondisi tersebut, sebenarnya mantan istri dapat mengajukan permohonan eksekusi nafkah anak ke Pengadilana Agama yang telah menjatuhkan putusan, namun yang menjadi persoalan adalah apabila dimintakan eksekusi secara paksa melalui Pengadilan nilai eksekusi lebih rendah daripada biaya operasional eksekusi yang akan dikeluarkan, sehingga mantan istri lebih memilih untuk membiarkan kondisi mantan suami lepas dari tanggungjawabnya untuk memberikan nafkah kepada anaknya.[6]

Atas kondisi tersebut tentu saja akan berdampak pada tidak terpenuhinya hak-hak seorang anak yang harusnya ia dapatkan dari orangtuanya khususnya seorang ayah, karena memang pada dasarnya seorang anak berhak mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, perlindungan serta pembiayaan hidup dari orangtuanya.[7] Berdasarkan hal-hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat judul makalah ini yaitu “Sebuah Gagasan dalam Perkara Nafkah Anak dan Pelaksanaan Eksekusinya di Pengadilan Agama”.

RUMUSAN MASALAH

  1. Bagaimana konsep keadilan bagi anak atas nafkah?
  2. Bagaimana pelaksanaan putusan nafkah anak di Pengadilan Agama?
  3. Apa upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan eksekusi nafkah anak?

 

BAB II

PEMBAHASAN

 KONSEP KEADILAN BAGI ANAK ATAS NAFKAH

Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 41 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah ditegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan biaya penghidupan dari orangtuanya, orangtua yang dimaksud adalah ayah, sebagaimana konsep hak asasi manusia, hak atas nafkah merupakan hak dasar yang sudah seharusnya dipenuhi oleh pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhinya tersebut, yaitu ayahnya.

Oleh sebab itu maka sebagai tanggungjawabnya seorang ayah harus selalu mengupayakan untuk memberikan biaya penghidupan dan pendidikan untuk anaknya. Selain itu, apabila dalam suatu persidangan nafkah anak tidak dimintakan oleh salah satu pihak berperkara maka Hakim harus memandang bahwa nafkah anak adalah suatu hak yang seharusnya didapat oleh anak, sehingga meskipun tidak dimintakan oleh pihak berperkara, Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat hal-hal terkait nafkah anak dalam suatu amar putusannya karena hal tersebut merupakan kewenangan dari majelis hakim yang disebut dengan hak ex officio seorang Hakim.[8]

Kemudian jika dipandang dari sisi hak asasi manusia, bahwa hak atas nafkah bagi anak merupakan hak dasar yang masuk dalam kategori hak atas ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Dalam kaitannya dengan hak ekosob prinsip utama yang harus dipahami adalah bahwa hak ini bersifat positif (positif rights), artinya bahwa negara harus memiliki peran aktif agar hak tersebut dapat terpenuhi dengan baik. Peran negara dalam pemenuhan hak atas nafkah bagi anak salah satunya dapat diimplementasikan melalui putusan Pengadilan Agama. Bahwa Pengadilan Agama memiliki peran strategis untuk dapat mewujudkan pemenuhan hak anak atas nafkah dengan memerintahkan orangtua (ayah) agar selalu memberikan nafkakh setiap bulannya kepada anaknya dengan berbagai metode atau instrumen hukum yang berlaku. Dengan terpenuhinya hak anak atas nafkah dari orangtuanya, maka kemudian keadilan bagi anak atas nafkah dapat terwujud.

 

PELAKSANAAN PUTUSAN NAFKAH ANAK DI PENGADILAN AGAMA

Pada dasarnya pelaksanaan putusan Pengadilan Agama haruslah dilaksanakan secara suka rela oleh para pihak yang berperkara, namun apabila terdapat pihak berperkara atau pihak yang telah dihukum melaksanakan suatu kewajiban tidak mau melaksanakan putusan secara suka rela maka pihak yang menang atau pihak yang seharusnya menerima suatu hak dapat mengajukan upaya eksekusi dengan mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agama yang telah memutus tersebut, termasuk salah satunya perkara terkait nafkah anak, dimana apabila seorang mantan suami yang telah dihukum oleh Pengadilan Agama untuk membayar biaya nafkah anak melalui mantan istrinya setiap bulan dengan jumlah tertentu tidak melaksankan dengan suka rela, maka mantan istri tersebut dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Agama yang telah memutus perkara nafkah anak tersebut. Adapun tata cara permohonan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama ialah sebagai berikut:[9]

  1. Pemohon mengajukan permohonan eksekusi dan mekanismenya sebagaimana diatur dalam pola bindalmin dan peraturan terkait.
  2. Ketua pengadilan agama/mahkamah syar’iyah menerbitkan penetapan untuk aanmaning, yang berisi perintah kepada jurusita supaya memanggil termohon eksekusi hadir pada sidang aanmaning.
  3. Jurusita/jurusita pengganti memanggil termohon eksekusi.
  4. Ketua pengadilan agama/mahkamah syar’iyah melaksanakan aanmaning dengan sidang insidentil yang dihadiri oleh ketua, panitera dan termohon eksekusi. Dalam sidang aanmaning tersebut: (seyogyanya pemohon eksekusi dipanggil untuk hadir, Ketua pengadilan  agama/mahkamah syar’iyah menyampaikan peringatan supaya dalam tempo 8 (delapan) hari dari hari setelah peringatan termohon eksekusi melaksanakan isi putusan. Panitera membuat berita acara sidang aanmaning dan ditanda tangani oleh ketua dan panitera.)
  5. Jika dalam tempo 8 (delapan) hari setelah peringatan, pemohon eksekusi melaporkan bahwa termohon eksekusi belum melaksanakan isi putusan, ketua pengadilan agama/mahkamah syar’iyah menerbitkan penetapan perintah eksekusi.

Namun dalam hal eksekusi yang berkaitan dengan putusan Hakim terkait dengan nafkah anak justru kadang yang menjadi kendala adalah dari pihak mantan istri itu sendiri, dimana mantan istri enggan mengajukan permohonan eksekusi atas nafkah anak yang dibebankan kepada mantan suami karena nilai eksekusi dirasa lebih kecil dibandingkan dengan biaya proses eksekusi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Stijn Van Huis dari Van Vollenhoven Institute University of Leiden yang dilakukan di Pengadilan Agama Cianjur dimana hasil penelitian tersebut ialah sebagai berikut:[10]

“Hasil penelitian di Pengadilan Agama Cianjur mengungkapkan, pengadilan kerap menentukan jumlah nafkah anak sebesar Rp. 300 ribu sampai Rp. 600 ribu perbulan. Meski ada beberapa contoh yang mau melaksanakan dengan baik, tetapi sebagian besar pria membayar jauh berkurang dari jumlah yang ditentukan Pengadilan itu, bahkan ada yang tak membayar sama sekali. Padahal, perempuan yang ingin pelaksanaan putusan nafkah anak itu ditegakkan, harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 800 ribu untuk mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama. Jumlah ini tentu tak sebanding dengan biaya nafkah anak yang tercantum dalam putusan, apa lagi mantan suami kadang-kadang tak konsisten membayar nafkah anak.”

Kondisi tersebut tentu saja menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat atau pihak berperkara terhadap suatu putusan Putusan Pengadilan Khususnya terkait nafkah anak yang telah berkekuatan hukum tetap masih sangat rendah, sehingga perlu adanya upaya-upaya khusus atas pelaksanaan eksekusi nafkah anak agar dapat terpenuhinya hak-hak anak atas nafkah.

 

UPAYA-UPAYA DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI NAFKAH ANAK

Bahwa sebagaimana asas yang terkandung dalam Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Putusan Pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan” harus dipahami bahwa pelaksanaan eksekusi harus berpegang pada asas kemanusiaan dan keadilan baik khususnya bagi pemohon eksekusi, karena pada dasarnya pemohon eksekusi adalah pihak yang telah dinyatakan berhak mendapat sesuatu sebagaimana yang dinyatakan dalam amar putusan Hakim. Dalam konteks perkara nafkah anak perlu dipahami bahwa pihak yang berkepentingan atas pemenuhan hak keadilan atas putusan adalah seorang anak, sehingga perlu adanya upaya-upaya khusus yang perlu dilakukan agar hak anak dapat terpenuhi dengan baik.

Bahwa dalam konsep hak asasi manusia dikenal adanya teori aksi afirmasi (affirmative action) yang dapat dimaknai sebagai upaya atau kebijakan yang memberikan keistimewaan terhdap kelompok tertentu atau terhadap kelompok rentan. Dalam kaitannya dengan kelompok rentan anak adalah bagian dari kelompok rentan itu sendiri.[11]

Oleh karena itu berpandangan pada kondisi permasalahan eksekusi nafkah sebagaimana terurai diatas, maka sudah seharusnya ada upaya-upaya khusus dari Pengadilan Agama dalam hal perkara mengenai nafkah anak, hal tersebut guna mensiasati pelaksanaan putusan hakim agar dapat terlaksana dengan baik sehingga hak anak atas nafkah pada akhirnya akan terpenuhi. Adapun beberapa gagasan-gasan upaya khusus dalam hal perkara nafkah anak, yaitu sebagai berikut:

1. Menjaminkan Harta Benda Milik Ayah Pasca Terjadi Perceraian

Apabila hakim telah menjatuhkan putusan yang pada intinya seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah sebesar sekian rupiah kepada anaknya setiap bulan sampai anak tersebut dewasa atau setidaknya sampai umur 21 tahun dengan demikian maka timbul hubungan hukum kreditur dan debitur antara seorang ayah denga anaknya tersebut, atau kemudian dapat dimaknai timbulnya suatu hubungan antara pihak yang memiliki suatu kewajiban tertentu dengan pihak yang berhak menerima sesuatu. Atas hubungan hukum tersebut maka sudah barangtentu seorang ayah harus melaksanakan kewajibannya tersebut.

Dalam hukum perdata Indonesia, untuk dapat terlaksananya kewajiban seseorang dan terpenuhinya hak setiap orang dalam hal hubungan kreditur-debitur telah memberikan konsep hukum jaminan, hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1131 KUHPerdata yang menyebutkan “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”.

Oleh karena mengingat eksekusi pemberian nafkah kepada anak tidak seperti eksekusi pada perkara perdata pada umumnya, dimana eksekusi pemberian nafkah anak adalah bersifat berkelanjutan (continuitas) maka untuk dapat menjamin terlaksananya eksekusi suka rela pembayaran nafkah dari seorang ayah kepada anaknya yang diberikan melalui mantan istrinya haruslah ada sebuah jaminan yang diberikan oleh ayah atau mantan suami berupa harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak, sehingga apabila seorang ayah atau mantan suami tidak melaksanakan putusan pembayaran nafkah kepada anak maka anak yang diwakili oleh ibunya atau mantan istri dapat menjual harta benda ayah atau mantan suami sebagai sebuah pelunasan atas kewajiban yang ditanggung sesuai dengan amar putusan Hakim.

Oleh karena itu maka putusan Hakim yang awal hanya menyebutkan: “Menghukum Tergugat/Tergugat Rekonvensi (ayah/bapak) untuk menanggung/membayar nafkah anak bernama……………..sekurangkurangnya setiap bulan sebesar …………..(sekian rupiah)  dengan kenaikan sebesar ………% setiap tahunnya hingga anak tersebut berumur 21 tahun atau mandiri” harus ditambah klausulnya sehingga menjadi sebagai berikut: “Menghukum Tergugat/Tergugat Rekonvensi (ayah/bapak) untuk menanggung/membayar nafkah anak bernama……………..sekurangkurangnya setiap bulan sebesar …………..(sekian rupiah)  dengan kenaikan sebesar ………% setiap tahunnya hingga anak tersebut berumur 21 tahun atau mandiri. dan menetapkan/menyatakan segala harta benda yang dimiliki dan/atau yang akan dimiliki oleh Tergugat/Tergugat Rekonvensi sebagai jaminan atas kelalaian pembayaran nafkah anak tersebut kepada Tergugat/Tergugat Rekonvensi”.

Adapun jika ternyata terdapat beberapa harta benda milik seorang ayah atau mantan suami sedang dalam penyitaan jaminan oleh pihak lain, maka Pengadilan Agama dapat melalukan peletakan sita jaminan persamaan atas harta benda milik ayah atau mantan suami yang sedang berada dalam sita jaminan lainnya tersebut.

Dengan amar putusan yang demikian ini, diharapkan bagi seorang ayah akan dapat melaksanakan putusan terkait nafkah anak secara suka rela. Adapun apabila seorang ayah tetap tidak melaksanakan hal tersebut, maka seorang mantan istri dapat melakukan lelang melalui pengadilan atas harta milik mantan suaminya yang telah dijadikan jaminan dalam pembayaran nafkah anak yang telah dibebankan kepada mantan suami tersebut.

 

2. Biaya eksekusi dibebankan kepada Termohon eksekusi

Sebagaimana asas hukum dalam hukum acara perdata yaitu beracara dikenakan biaya, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Ayat (4) UU. No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 121 Ayat (4), 182,183 HIR, serta Pasal 145 Ayat (4), 192 – 194 RBg. Hal tersebut tentu menjadi pertimbangan utama bagi para mantan istri untuk mengajukan permohonan eksekusi atas nafkah anak yang telah dibebankan kepada mantan suaminya. Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa pertimbangan beban biaya eksekusi yang tidak jarang jauh lebih besar daripada nilai eksekusi yang diajukan oleh Pemohon eksekusi tentu saja menjadi pertimbangan utama agar Pemohon eksekusi tidak mengajukan ekesekusi. Oleh karena itu atas permasalah tersebut salah satu afirmasi hukum (affirmative law) yang dapat lakukan dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak anak atas nafkah adalah dengan membebankan biaya eksekusi kepada Termohon eksekusi.

 

3. Pembebasan Biaya Eksekusi atau Eksekusi Secara Cuma-Cuma

Bahwa selama ini yang menjadi fokus dalam pembebasan biaya perkara di pengadilan adalah bagi kelompok yang tidak mampu secara ekonomi, hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan yang pada pokoknya bahwa untuk mendapatkan layanan pembebasan biaya perkara adalah bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu atau sejenisnya yang pada pokoknya menunjukkan bahwa ia tidak mampu. Untuk kedepannya diharapkan bahwa setiap eksekusi terhadap nafkah anak dilakukan secara cuma-cuma (prodeo).

Upaya ini guna menghilangkan permasalahan yang muncul dari pihak anak atau mantan istri yang mana tidak mau mengajukan permohonan eksekusi nafkah anak di Pengadilan karena pemikiran bahwa nilai eksekusi lebih kecil daripada biaya permohonan eksekusi itu sendiri. Hal tersebut merupakan afirmasi hukum (affirmative of law) yang kemudian dapat menjadi sebuah cita-cita hukum dimasa yang akan datang (ius constituendum).

Oleh karena itu untuk dapat terpenuhinya hak anak atas nafkah maka affirmative action disektor hukum dapat dilakukan, salah satunya dengan cara memberikan bantuan eksekusi nafkah anak secara cuma-cuma, hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Orang tua merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Adapun dalam hal nafkah, pihak orang tua yang memiliki kewajiban untuk memberikan biaya nafkah adalah seorang ayah, sekalipun dalam hubungan rumah tangga seorang suami-istri telah bercerai dan pengasuhan anak berada pada pihak istri, maka biaya penghidupan seorang anak adalah masih tetap menjadi tanggungjawab seorang ayah atau mantan suami.

Namun ternyata karena hubungan suami istri yang telah bercerai dan anak berada dibawah asuhan mantan istri, banyak mantan suami yang tidak memberikan nafkah kepada anaknya meskipun putusan pengadillan telah menyatakan bahwa ia harus membayar sekian rupiah setiap bulannya sampai anak dewasa. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya khusus terkait perkara nafkah anak.

Gagasan-gagasan tersebut diatas merupakan siasat untuk terlaksananya suatu kewajiban seseorang (mantan suami) atas sesuatu yang harus ia laksanakan, serta menjamin terpenuhinya hak-hak dari orang (anak) atas apa yang seharusnya ia dapatkan. Bahwa hukum haruslah menjadi kontrol kehidupan masyarakat agar kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan tertib dan teratur, sebagaimana teori hukum yang dicetuskan oleh Rescou Pound yang menyatakan law as a tools of engineering, bahwa peran hukum dalam tata sosial kehidupan masyarakat adalah sebagai rekayasa sosial, dimana hukum harus mampu menggerakkan situasi sosial kemasyarakatan guna tercapainya kehidupan masyarakat yang tertib, teratur, dan harmonis.

 

SARAN ATAU MASUKAN

  1. Kepada para Hakim untuk membuat amar putusan yang pada pokoknya selain menghukum suami untuk membayar uang nafkah dan pendidikan juga harus memuat hal terkait dengan jaminan berupa harta benda baik yang ada maupun yang akan ada sebagai jaminan dalam pembayaran nafkah anak.
  2. Kepada Ketua Pengadilan, membebaskan biaya permohonan eksekusi yang diajukan oleh mantan istri terkait pembayaran nafkah anak yang harus dibayarkan oleh mantan suami kepada anak melalui mantan istrinya.
  3. Stakeholder Legislator atau Mahkamah Agung untuk membuat regulasi terkait kewenangan hakim meletakkan sita jaminan terhadap harta benda milik seorang ayah baik yang telah ada maupun yang akan ada sebagai jaminan pembayaran atas nafkah anak yang harus ia bayarkan kepada anak melalui mantan istrinya.
  4. Stakholder Legislator atau Mahkamah Agung untuk membuat regulasi terkait pembiayan atau bantuan hukum atau pembebasan biaya bagi setiap mantan istri untuk mengajukan permohonan eksekusi nafkah anak secara cuma-cuma.

 

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2014. Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama

Fanani Ahmad dan Badria Nur lailina Ulfa, Hak Ex Officio Hakim: Studi Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo No. 3511 Th 2015, Vol. 13, No. 2, ejournal.unida.gontor diakses pada tahun 2021 melalui situs https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/viewFile/1091/1120

Choiri, Penjaminan Harta Ayah Terhadap Kelalaian Pembayaran Nafkah Anak Pasca Perceraian (Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Perceraian Bagian 2) diakses pada 2021 melalui situs https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/penjaminan-harta-ayah-terhadap-kelalaian-pembayaran-nafkah-anak-pasca-perceraian-oleh-dr-h-a-choiri-sh-mh-28-10

Berita, Mantan Suami Kerap Abaikan Pemenuhan Hak Nafkah Pasca Cerai, diakses pada tahun 2021 melalui situs https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ce6a080e0611/mantan-suami-kerap-abaikan-pemenuhan-hak-nafkah-pasca-cerai/

Undang-Undang Dasara Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan

 

[1] Terdapat 4 lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

[2] Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

[3] Rincian perkara bidang perkawinan dalam penjelasan pasal 49 huruf a disebutkan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, yang diantaranya ialah hal terkait nafkah seorang anak.

[4] Bahwa pembebanan nafkah anak merupakan salah satu ex officio atau kewenangan yang dimiliki Hakim berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya walaupun tanpa dimintakan oleh para pihak berperkara, majelis hakim tetap memiliki kewenangan untuk menetapkan nafkah anak.

[5] Hal tersebut sebagimana dinyatakan dalam pasal 41 huruf Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

[6] Hal tersebut sebagaimana pernah menjadi salah satu objek penelitian Stijn Van Huis dari Van Vollenhoven Institute, University of Leiden, Belanda, sebagaimana informasi ini Penulis dapat dari hukum onlie melalui websitenya di link https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ce6a080e0611/mantan-suami-kerap-abaikan-pemenuhan-hak-nafkah-pasca-cerai/ yang diakses pada 25 Agustus 2021 pada pukul 16.00 WIB

[7] Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

[8] Menurut Marjanne Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda, Hak ex officio berasal dari bahasa latin ambtshalve (bahasa Belanda) yang berarti karena jabatan. Adapun menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, dalam Kamus Hukum mengungkapkan bahwa hak ex officio adalah hak yang karena jabatannya, tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, juga tidak berdasarkan suatu permohonan. Pendapat tersebut Penulis kutip dari jurnal Tsafaqah Vol. 13, No. 2, November 2017 yang ditulis oleh Ahmad Fanani dan Badria Nur Lailina Ulfa pada halaman 341, jurnal tersebut diakses secara online melalui link https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/viewFile/1091/1120 pada 25 Agustus 2021 pada pukul 16.00 WIB.

[9] Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, 2014, halaman 121.

[10] Dalam artikel Penjaminan Harta Ayah Terhadap Kelalaian Pembayaran Nafkah Anak Pasca Perceraian (Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Perceraian Bagian 2) yang ditulis oleh Dr. H. A. Choiri, S.H., M.H. yang dapat diunduh melalui link https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/penjaminan-harta-ayah-terhadap-kelalaian-pembayaran-nafkah-anak-pasca-perceraian-oleh-dr-h-a-choiri-sh-mh-28-10 diakses pada, 25 Agustus 2021.

[11] Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.

Terimakasih telah membaca Artikel - SEBUAH GAGASAN DALAM PERKARA NAFKAH ANAK DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA DI PENGADILAN AGAMA. Silahkan tinggalkan komentar, saran dan pesan Anda untuk kemajuan website Pengadilan Agama Kuala Kapuas. Terimakasih untuk dukungan dan partisipasi Anda.
Total Komentar    Belum Ada Komentar
  • Nama harus diisi, Email tidak akan disebarluaskan, Terimakasih.
  • Mohon untuk menggunakan ejaan yang benar / kata-kata yang mudah dimengerti