Urgensi Legalisasi Bukti Fotokopi Oleh Panitera Untuk Pembuktian di Persidangan
Oleh: Ahmad Rafuan, S.Sy. (Hakim Pratama PA Kuala Kapuas)
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial, yang artinya dalam kehidupan saling membutuhkan satu sama lain.[1] Dalam relasi hubungan antar sesama manusia, ada unsur kepentingan individu maupun kelompok yang menjadi tujuan dalam kehidupan bersosial. Untuk meraih tujuan atau kepentingan tersebut, tidak jarang terjadi persinggungan atau gesekan antara individu dengan individu yang lain yang disebut dengan konflik atau pertikaian. Konflik adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sosial, namun konflik dapat dikelola dan diselesaikan untuk mencapai titik temu antara satu kepentingan manusia dengan kepentingan yang lain. Penyelesaian konflik dapat ditempuh melalui proses non-litigasi maupun litigasi. Penyelesaian konflik melalui proses non-litigasi melalui mediasi, negosiasi, suluh, arbitrase dan metode lainnya untuk mencapai titik temu kesepakatan penyelesaian konflik.[2] Adapun penyelesaian konflik secara litigasi adalah penyelesaian melalui lembaga peradilan.
Penyelesaian konflik kepentingan antar individu melalui lembaga peradilan telah diatur sedemikian rupa melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa kepentingan antar individu dipahami sebagai perkara perdata. Penyelesaian perkara perdata di Indonesia secara litigasi diselesaikan melalui dua lembaga peradilan, tergantung dari subjek hukum[3] yang berperkara. Perkara perdata antara orang yang beragama Islam dan/atau badan hukum Islam diselesaikan melalui lembaga peradilan agama.[4] Adapun yang selain itu, diselesaikan melalui lembaga peradilan umum.
Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan mengikuti sistem hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, baik melalui lembaga peradilan umum maupun lembaga peradilan agama. Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.[5] Dalam pengertian lain, hukum acara perdata juga diartikan sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[6] Untuk memenuhi aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam penegakan hukum perdata materiil, pelaksanaan hukum acara perdata dibatasi dan diawasi oleh asas-asas hukum acara perdata. Salah satu asas dalam hukum acara perdata yang menjadi acuan pelaksanaan adalah asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan bertujuan agar pelaksanaan pemeriksaan perkara perdata di pengadilan dilaksanakan dengan sederhana tanpa bertele-tele, cepat dan tidak memakan banyak biaya. Dalam pelaksanaan tahapan-tahapan persidangan harus memerhatikan asas tersebut, tidak terkecuali dalam tahapan pembuktian. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting sebagai landasan dan pertimbangan utama hakim dalam memutus perkara.[7] Dalam perkara perdata, bukti yang dianggap paling kuat adalah alat bukti surat berupa akta otentik, yang mana kekuatan pembuktiannya sempurna dan mengikat[8], yang terletak pada keaslian surat atau akta tersebut. Sedangkan akta atau surat yang berbentuk fotokopi, sesuai peraturan Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, Angka 9, harus terlebih dahulu dicocokkan dengan aslinya dan kemudian dilegalisir oleh Panitera sebelum diajukan sebagai alat bukti di persidangan.[9] Ketentuan mengenai legalisir alat bukti surat yang berbentuk fotokopi oleh Panitera ini, di banyak sisi justru bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Sebab, alat bukti surat atau akta yang berbentuk fotokopi, selain harus di-nazegelen di kantor pos, juga nantinya akan dicocokkan lagi dengan aslinya oleh Majelis Hakim di persidangan dengan agenda pembuktian. Bagaimana seandainya di satu sisi Panitera menyatakan dokumen fotokopi sesuai dengan aslinya dan memberikan legalisir atas dokumen fotokopi tersebut, namun di sisi lain Majelis Hakim menyatakan dokumen fotokopi tersebut tidak cocok dan tidak sesuai dengan aslinya, atau malah sebaliknya, maka akan muncul pertanyaan krusial tentang pendapat siapa yang harus dijadikan acuan hukum formil pembuktian, Panitera ataukah Majelis Hakim. Pendapat pihak mana pun yang akan diambil, tentu akan menjatuhkan kewibawaan dan kedudukan pihak lainnya. Atau bagaimana seandainya Panitera sedang melaksanakan dinas luar daerah, sedangkan keperluan legalisasi alat bukti dokumen fotokopi mendesak diperlukan untuk pembuktian di persidangan, maka waktu penyelesaian persidangan akan semakin panjang. Selain memakan waktu lebih lama, hal tersebut juga tidak efisien dalam upaya penyelesaian perkara di pengadilan. Oleh sebab itu, penulis tertarik dan merasa penting untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam Paper yang berjudul “URGENSI LEGALISASI BUKTI FOTOKOPI OLEH PANITERA UNTUK PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN”.
PERMASALAHAN
- Bagaimanakah penerapan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan?
- Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam hukum perdata?
- Bagaimanakah urgensi pelaksanaan legalisasi dokumen alat bukti fotokopi oleh Panitera untuk keperluan pembuktian di persidangan?
PEMBAHASAN
1. Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas pelaksanaan persidangan yang mengutamakan penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Asas tersebut tertuang di dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman[10] jo. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman[11]. Dalam peraturan perundang-undangan terkait Peradilan Agama, asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tertuang dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[12].
Asas sederhana bermakna pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat merupakan asas yang bersifat universal, berkaitan dengan waktu penyelesaian perkara yang tidak berlarut-larut. Berkaitan dengan waktu penyelesaian perkara, telah ada batas waktu penyelesaian perkara paling lama 5 (lima) bulan untuk penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama, dan paling lama 3 (tiga) bulan untuk penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Banding melalui Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan.[13] Ketentuan mengenai batas waktu tersebut sudah termasuk penyelesaian minutasi. Pengecualian terhadap batas waktu tersebut berlaku terhadap perkara-perkara khusus yang sudah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas cepat ini dikenal dengan adagium justice delayed justice denied, yang bermakna proses peradilan yang lambat tidak akan memberi keadilan kepada para pihak. Asas biaya ringan mengandung arti bahwa biaya perkara dapat dijangkau oleh masyarakat.
Jika ditelaah dalam sepuluh tahun terakhir, sudah banyak kebijakan yang dilahirkan dan dijalankan oleh Mahkamah Agung untuk mendorong implementasi ketiga asas tersebut. Untuk menjalankan peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan yang efektif dan efisien misalnya, diperkenalkan kebijakan pendukung berupa penggunaan teknologi informasi. Para pihak yang berperkara bahkan masyarakat umum bisa melakukan penelusuran perkara melalui SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara). Di beberapa Pengadilan Agama telah diterapkan penggunaan SMS Reminder (SMS Gateway) untuk mengingatkan para pihak mengenai jadwal persidangan, untuk meminimalisir adanya penundaan sidang yang disebabkan kealpaan para pihak menghadiri sidang sehingga harus dipanggil ulang, yang mengakibatkan penguluran waktu penyelesaian perkara. Selain itu, telah digalakkan sisten court calendar yang menekankan aspek kepastian jadwal pelaksanaan persidangan, sehingga meminimalisir adanya penundaan persidangan dengan alasan yang tidak substansial. Yang terbaru, adalah implementasi e-court dan e-summons yang berimplikasi pada berkurangnya biaya dan waktu penyelesaian perkara[14].
2. Alat Bukti Surat dan Kekuatan Pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata
Sengketa yang diajukan ke lembaga peradilan akan diputus melalui putusan hakim. Untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil suatu gugatan atau menolak suatu dalil dan tuntutan, penggugat atau tergugat yang telah dibebani pembuktian harus membuktikannya dengan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tersebut ditentukan oleh Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata (BW), yaitu:[15]
- Alat bukti surat;
- Saksi-saksi;
- Persangkaan;
- Pengakuan;
- Sumpah
Dalam perkara perdata yang menekankan pada aspek formil[16], kedudukan alat bukti surat dianggap lebih kuat dibanding alat bukti lainnya. Sudikno Mertokusumo mengartikan alat bukti surat (alat bukti tertulis) sebagai:“Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.[17]
Surat yang dibuat dan memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang ditandatangani[18], dan sejak semula dengan sengaja dibuat untuk pembuktian disebut sebagai surat akta.[19] Akta dibedakan menjadi dua, yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah suatu surat yang bentuknya ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang untuk itu.[20] Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta atau surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tanpa bantuan pejabat atau pegawai umum, yang bertujuan untuk dijadikan alat bukti tentang peristiwa yang tercantum di dalamnya.[21]
Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak.[22] Pengertian bukti yang sempurna adalah apabila bukti akta otentik tersebut telah memenuhi ketentuan perundang-undangan maka hakim harus menganggap cukup alat bukti tersebut sebagai bukti kebenaran peristiwa atau dalil, tanpa meminta tambahan alat bukti lainnya. Undang-undang mengharuskan hakim meyakini kesempurnaan bukti akta otentik, karena akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang yang ditunjuk undang-undang. Namun demikian, pihak lawan berhak menyangkal kebenaran akta otentik tersebut, tentunya dengan alat bukti yang otentik pula.[23]
Pada prinsipnya, kekuatan suatu bukti surat hanya terletak pada asli surat yang berbentuk akta.[24] Jadi, surat yang berkekuatan bukti hanyalah akta yang asli. Salinan atau ikhtisar dari suatu akta boleh dipercaya apabila sama dengan aslinya. Begitu pula fotokopi dari akta otentik, dapat dipercaya apabila sesuai dengan aslinya. Hanya saja fotokopi dari suatu akta memiliki ketentuan tambahan supaya bernilai pembuktian.
3. Urgensi Legalisasi Bukti Fotokopi Oleh Panitera Untuk Pembuktian di Persidangan
Ketentuan mengenai pembuktian mengatur bahwa dokumen fotokopi yang akan dijadikan sebagai alat bukti, harus dilegalisir dengan cara dicocokkan dengan aslinya, kemudian dinyatakan dan ditandatangani oleh pejabat berwenang bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Untuk keperluan pembuktian di persidangan, yang berwenang melakukan legalisir terhadap fotokopi tersebut adalah Panitera, yang diatur di dalam Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, dan ditegaskan melalui Surat Mahkamah Agung Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tentang Legalisasi Surat.
Secara yuridis, ketentuan mengenai legalisasi alat bukti surat fotokopi memiliki payung hukum. Namun menjadi menarik ketika ketentuan tersebut dikaji dari aspek sosiologis, filosofis dan pragmatis, sehingga akan ditemukan efektifitas hukum untuk menguji urgensi ketentuan legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera tersebut.
Membicarakan efektifitas hukum, berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi tiga syarat, yakni berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis,[25] serta ditambah dengan aspek pragmatis. Penjelasan mengenai berlakunya suatu peraturan sebagai kaidah adalah sebagai berikut:[26]
- Berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan;
- Berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (berdasarkan teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat;
- Berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif tertinggi;
- Berlaku secara pragmatis, yaitu apabila bersifat praktis dan berguna bagi umum dengan mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan).[27]
Kalau dikaji secara mendalam agar suatu hukum dapat berfungsi secara efektif dan efisien, maka setiap peraturan harus memenuhi unsur-unsur kaidah di atas secara kumulatif, bukan alternatif, sebab (1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan;[28] (4) dan apabila hanya berlaku secara pragmatis, kemungkinan kaidah itu hampa dari kepastian dan keadilan[29].
Berbicara mengenai efektifitas hukum, juga tidak terlepas dari empat faktor yang mempengaruhi keberfungsiannya, yakni (1) kaidah hukum atau peraturan itu sendiri; (2) petugas yang menegakkan atau menerapkan; (3) sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan kaidah hukum; dan (4) masyarakat yang terkena dampak peraturan tersebut. Dengan mengkaji aturan mengenai legalisasi alat bukti surat/akta fotokopi oleh Panitera menggunakan kaidah efektifitas dan efisiensi pemberlakuan hukum, maka akan dapat ditemukan urgensi pelaksanaan peraturan tersebut.
Secara yuridis, aturan bahwa dokumen alat bukti surat/akta yang berbentuk fotokopi harus dilegalisasi oleh Panitera memiliki payung hukum melalui Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, dan ditegaskan melalui Surat Mahkamah Agung Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tentang Legalisasi Surat. Artinya, aturan tersebut berlaku secara yuridis.
Secara sosiologis, jika menggunakan sudut pandang teori kekuasaan, aturan tersebut dapat dipaksakan untuk diberlakukan. Namun jika dilihat dari sudut pandang pengakuan masyarakat, maka aturan tersebut tidak diakui oleh masyarakat baik secara eksplisit maupun implisit, malahan ketentuan tersebut justru menambah rumit proses perkara yang akan dihadapi oleh masyarakat di lembaga peradilan.
Secara filosofis, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas peradilan sederhana menginginkan proses peradilan bersifat sederhana serta tidak rumit dan asas cepat menginginkan proses peradilan diselesaikan dalam waktu yang singkat dan padat, sedangkan ketentuan mengenai legalisasi akta fotokopi tersebut memperpanjang alur pembuktian oleh para pihak. Sebab para pihak harus menemui Panitera terlebih dahulu untuk meminta legalisir akta fotokopi. Padahal Panitera memiliki tugas-tugas penting lain yang juga harus dilaksanakan. Belum lagi apabila Panitera dalam keadaan melaksanakan dinas luar daerah, padahal bisa jadi keperluan legalisasi alat bukti fotokopi sudah sangat mendesak untuk pembuktian di persidangan, sehingga dapat mengakibatkan tertundanya proses pembuktian dan semakin lamanya penyelesaian perkara. Ketika sidang pembuktian pun, Majelis Hakim akan melakukan pencocokkan kembali alat bukti fotokopi dengan aslinya, sehingga ketentuan bahwa bukti fotokopi harus dilegalisir oleh Panitera sangat tidak efektif dan tidak efisien. Belum lagi apabila terjadi perbedaan pendapat antara Panitera dengan Majelis Hakim mengenai sesuai atau tidaknya bukti fotokopi dengan aslinya, maka pendapat pihak manakah yang harus dijadikan pegangan dalam pembuktian. Pendapat pihak mana pun yang dipilih berpotensi menurunkan kewibawaan pihak lainnya apabila terjadi perbedaan pendapat tersebut. Asas biaya ringan, menginginkan proses peradilan dilaksanakan dan diselesaikan dengan biaya seminimal mungkin. Ketentuan mengenai legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera mengharuskan para pihak membayar biaya legalisir sebesar Rp.250 (dua ratus lima puluh rupiah).[30] Meskipun jumlah tersebut bukan jumlah uang yang besar di masa sekarang ini, tetapi setidaknya pengeluaran para pihak dalam berperkara dapat ditekan seminimal mungkin.
Secara pragmatis, ketentuan tersebut tidak bersifat praktis bahkan cenderung membuat rumit para pihak. Terlebih ketika para pihak memerlukan legalisasi oleh Panitera, namun Panitera sedang memiliki banyak pekerjaan penting lainnya, atau bahkan Panitera sedang dalam keadaan dinas luar daerah. Bahkan ketentuan tersebut bisa saja menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat bagi para pihak jika pada proses pembuktian nantinya, Majelis Hakim akan melakukan pencocokkan kembali antara bukti fotokopi dengan akta aslinya.
Melihat dari argumentasi di atas, ketentuan mengenai legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera memenuhi unsur berlaku secara yuridis, namun tidak memenuhi unsur berlaku secara sosiologis, filosofis, dan pragmatis. Sehingga jika dikaitkan dengan pendapat Zainuddin Ali, ada kemungkinan aturan tersebut merupakan kaidah hukum yang mati. Selain itu, apabila dikaitkan dengan empat faktor keberfungsian hukum, ketentuan tersebut secara memiliki relasi secara negatif terhadap tiga faktor, yakni (1) petugas yang menegakkan dan menerapkan; (2) sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan kaidah hukum; dan (3) masyarakat yang terkena dampak peraturan tersebut. Oleh sebab itu, Penulis menyimpulkan bahwa ketentuan legalisasi alat bukti surat/akta fotokopi oleh Panitera untuk pembuktian di persidangan sangat tidak efektif dan tidak memiliki urgensi untuk diterapkan.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan persidangan, penting untuk menerapkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas sederhana berarti proses peradilan tidak rumit dan bertele-tele. Asas cepat terkait dengan waktu penyelesaian perkara yang tidak memakan waktu lama. Asas biaya ringan menginginkan pelaksanaan dan penyelesaian perkara peradilan menggunakan biaya seminimal mungkin.
Dalam perkara perdata, alat bukti surat atau akta memiliki kedudukan utama dan kekuatan yang sempurna. Kekuatan pembuktian akta terletak pada aslinya. Sedangkan bukti salinan atau fotokopi harus sesuai dengan akta aslinya.
Secara yuridis, alat bukti akta fotokopi harus dilegalisir oleh Panitera. Namun secara sosiologis aturan tersebut tidak mendapat pengakuan maupun penolakan oleh masyarakat baik secara eksplisit maupun implisit. Secara filosofis, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Secara pragmatis, aturan tersebut tidak bersifat praktis bahkan cenderung tidak berguna.
Jika dikaitkan dengan faktor keberfungsian hukum, ketentuan legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera memiliki relasi negatif terhadap tiga faktor, yakni petugas yang menegakkan dan menerapkan; sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan; dan masyarakat yang terkena dampak peraturan tersebut. Sehingga, kesimpulannya aturan mengenai legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera untuk pembuktian di persidangan sangat tidak efektif dan tidak memiliki urgensi untuk diterapkan.
2. SARAN
- Kepada unsur pembentuk peraturan perundang-undangan dan aturan pelaksana agar menghapus atau merevisi ketentuan legalisasi bukti fotokopi oleh Panitera.
- Kepada unsur lembaga peradilan agar memberi kemudahan pencocokkan alat bukti fotokopi hanya oleh Majelis Hakim pada sidang pembuktian.
- Kepada para pihak yang berperkara di pengadilan agar mempersiapkan dokumen alat bukti fotokopi dan aslinya untuk dicocokkan pada sidang pembuktian.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Mukti Arto, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan ke-II, 2018.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1999.
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Citra Aditya Bakti, cet. II, 2012.
Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Jaudar Press, 2017.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Wildan Suyuthi Mustofa, Panitera Pengadilan, Jakarta: Tatanusa, 2002.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1982.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-XVI, 2016.
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: Balitbang Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010.
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, cet. V, 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBg).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009.
MAHKAMAH AGUNG RI
Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993.
PERMA Nomor 3 Tahun 2018.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 701 K/Sip/1974.
SEMA Nomor 2 Tahun 2014.
SEMA Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994.
FOTENOTE
[1]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h. 29.
[2]Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 11.
[3]Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang disebut orang. Orang dalam pengertian hukum adalah manusia pribadi dan badan hukum. Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, h. 27.
[4]Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lihat juga A. Mukti Arto, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan ke-II, 2018, h. 307.
[5]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, h. 2.
[6]Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1982, h. 13.
[7]Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: Balitbang Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010, h. 101.
[8]Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-XVI, 2016, h. 545.
[9]Buku I tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Tahun 1993, Angka 9. Lihat juga Surat Mahkamah Agung Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tentang Legalisasi Surat.
[10]Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
[11]Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[12]Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
[13]SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan
[14]Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
[15]Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Jaudar Press, 2017, h. 419.
[16]Dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif atau positief wettelijk bewijsleer, dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang formal. Lihat Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Citra Aditya Bakti, cet. II, 2012, h. 2.
[17]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara…, h. 116.
[18]Suatu akta harus ditandatangani di dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Paraf atau nama dengan huruf balok saja tidak cukup. Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970.
[19]Sarmin Syukur, Hukum Acara…, h. 421.
[21]Sarmin Syukur, Hukum Acara…, h. 424.
[22]Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg dan Pasal 1870 KUHPerdata.
[23]Sarmin Syukur, Hukum Acara…, h. 426.
[25]Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, cet. V, 2011, h. 94.
[27]Pragmatis artinya bersifat praktis dan berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan). Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1999. Menurut Zainuddin Ali, efektifitas hukum dilihat dari tiga aspek berlakunya hukum, yakni secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Adapun kaidah berlaku secara pragmatis merupakan tambahan dari penulis.
[28]Zainuddin Ali, Filsafat Hukum…, h. 94
[29]Poin ini merupakan tambahan dari Penulis.
[30]Wildan Suyuthi Mustofa, Panitera Pengadilan, Jakarta: Tatanusa, 2002, h. 24.